Sungguh perihatin memang melihat kenyataan tentang proses beracara atau peradilan di Indonesia yang saat ini ada dalam masa-masa kristisnya. Mulai dari adanya mafia peradilan, peradilan sesat, barter tahanan, saksi bohongan, kriminalisasi dan sederet panjang hal-hal buruk lainnya.
Mengingat pengtingnya peradilan sebagai sebuah proses mencari keadailan bagi para just seeker. Sudah seharusnyalah Negara dan pemerintah dapat membangun sebuah sistem peradilan yang bersih, atau bahkan sebuah sistem peradilan yang mampu memenuhi asas trilogy peradilan yaitu sebuah peradilan yang sederhana, mudah dan berbiaya ringan.
Kalau sudah peradilan tidak dapat diandalkan, lalu kemana masyarakat mencari keadilan? Hal ini lah yang sepatutnya menjadi renungan kita bersama khususnya para mahasiswa yang sedang menempuh studi di fakultas hukum di seluruh tanah air. Salah satu hal yang dapat dilakaukan para mahasiswa adalah belajar beracara di pengadilan melalui kegiata Peradilan semu.
Peradilan semu (moot court) atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah pseudo court merupakan sebuah tempat dimana kita khususnya para mahasiswa dapat belajar hukum peradilan ditanah air. Lebih utamanya yaitu belajar tentang hukum acara ataupun hukum formil. Sesuai dengan namanya, kegiatan peradilan semu merupakan tiruan dari proses peradilan yang sebenarnya.
Di Indonesia, banyak sekali perlombaan tentang peradilan semu. Hampir semua fakultas hukum di tanah air memiliki kompetisinya masing-masing hal ini membuat peradilan semu menjadi salah satu kegiatan yang paling digelar dimasing-masing fakultas hukum tanah air. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa peradilan semu merupakan sebuah tiruan proses peradilan yang sebenarnya, jadi sudah dapat ditebak bahwa persiapan dalam mengikuti kegiatan ini memakan waktu dan persiapan yang matang.
Dimulai dari pembuatan berkas, penyiapan dialoge dan scenario persidangan sampai dengan belajar acting. Jadi wajarlah bila membutuhkan waktu dan persiapan yang matang. Pemberkasanpun dibuat dari saat proses penyelidikan di Kepolisian sampai dengan proses penjatuhan di persidangan.
Yang menarik dari kompetisi peradilan semu adalah, biasanya kasus posisi yang disiapkan oleh panitia lomba memiliki banyak loop hole, yang seakan memerlukan kecermatan tersendiri dalam menganalisanya sehingga tidak salah dalam menentukan scenario persidangan yang akan dilakoni. Jenis kasusnya-pun beragam mulai dari ranah perdata, pidana, korupsi, money laundering dan sebagainya. Sehingga penguasaan ilmu beracara memang merupakan kebutuhan bari para moot courter.
Selain diperlukan sebuah kecermatan dalam menentukan arah jalan sebuah kasus, diperlukan juga sebuah pemikiran kritis. Sehingga walaupun hanya sebatas kompetisi, mahasiswa sejak dini sudah mulai bisa menerapkan konsep-konsep hukum yang sebenarnya. Hal ini sangat penting sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakan Indonesia terhadap lembaga peradilan. Utamanya adalah untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yaitu mencipatakan sebuah kepastian, keadilan dan juga kemamfaatan hukum. Hal terakhir ini lah yang sering diabaikan oleh para penegak hukum kita sekarang ini.
Biasanya dalam sebuah kompetisi, dibagi kedalam dua tahap, yaitu tahap penyisihan dan babak final. Sehingga setiap tim harus mampu membuat dua berkas dan juga dua penampilan sidang. Disini sangat dituntut kekompakan dalam tim, karena untuk membuat dua berkas dan penampilan merupakan hal yang sulit.
Penjurianpun merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh setiap peserta kompetisi ini, hal ini dikarenakan beragamnya macam juri yang disiapkan panitia. Biasanya para juri terdiri dari empat komponen, yaitu dari hakim, jaksa, advokat dan juga akademisi. Oleh karena itulah berkas kesempurnaan berkas dan persidangan baik secara akademis maupun praktis harus sangat diperhatikan.
Tidak jarang mereka hanya memikirkan satu komponen tujuan hukum tanpa melihat komponen lainnya. Contohnya, tidak jarang para hakim hanya memikirkan tentang tercapainya kepastian hukum dengan mengabaikan keadilan hukum dan tentunya kemamfaatan hukum. Hal ini sungguh disayangkan, karena diantara ketiga tujuan hukum tersebut, semuanya merupakan komponen yang sama sekali tidak dapat diabaikan. Hal inilah yang menjadi perhatian utama dari kompetisi peradilan semu, disamping belajar hukum kita juga belajar berpraktek hukum.
Biasanya yang menjadi penilain utama dalam kompetisi peradilan semu adalah, kelengkapan berkas, kesesuain dengan undang-undang dan penampilan sidang. Dalam pembuatan berkas, harus diusahakan membuat berkas yang selengkap-lengkapnya sehingga mendapatkan poin maksimal saat penjurian. Kemudian dalam penampilan sidang, yang dituntut oleh para dewan juri bukan hanya penguasaan hukum acara namun juga bagaimana jalannya sidang, scenario sidang, ekspresi, variasi, dan masih banyak lagi. Hal ini membuat dalam persiapannya, penampilan sidang merupakan salah satu yang sangat diperhatikan selain pemberkasan.
Disinipun, seperti yang sudah diterangkan diatas, kreasi juga merupakan salah satu faktor yang dinilai dalam proses peradilan semu, sehingga tidak jarang, para tim berlomba untuk mempertontonkan sebuah kreasi baru dalam praktek beracara di pengadilan.
Peradilan semu sebagai sebuah peradilan yang sebenarnya (moot court as a real court) tampaknya ada benarnya. Hal ini dikarenakan peradilan semu menggambarkan segala hal yang terjadi di peradilan yang sebenarnya. Selain itu, dari uraian diatas, dapatlah dikatakan bahwa peradilan semu sebenarnya juga merupakan sebuah peradilan yang sebenarnya yang intinya merupakan tempat bagi para calon juris menempa ilmu dalam proses beracara.
Oleh : I Wayan Alit Sudarsana (Universitas Udayana)
NB: Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dipost disini
4 komentar:
test
mau tanya donk, kalau mau posting tulisan, bagaimana caranya?
Makasih. Salam Peradilan Semu... :)
@Pardosi Jr.
Terimakasi atas pertanyaannya.
Untuk dapat memposting tulisan Anda di web HKPSI, tulisan Anda bisa dikirim ke email peradilansemuindonesia(at)gmail.com.
Nanti Redaksi Web HKPSI akan memproses tulisan Anda.
Jangan lupa sertakan nama dan nama KPS.
Salam HKPSI.
Posting Komentar